Bersauna debu di gunung Slamet

slmt5

Jarum jam menunjukan pukul 12.30 saat kereta Purwojaya yang saya tumpangi sampai di stasiun Purwokerto. Dan dengan menumpang angkot saya lanjutkan perjalanan menuju terminal untuk mendapatkan kendaraan yang akan membawa saya hingga ke pertigaan Serayu kemudian melanjutkannya dengan menumpang kendaraan pick-up menuju dusun Bambangan dimana saya akan bermalam semalam dan baru keesokan harinya mendaki gunung Slamet. Rencananya saya menginap di rumah kepala dusun yang sering dijadikan basecamp oleh para pendaki, dan juga berfungsi sebagai tempat mengurus ijin. Saat saya sampai disana tampak beberapa pendaki sedang bersiap akan mendaki. Kemarau yang kering kerontang tengah melanda dusun ini sehingga membuat penduduknya harus membeli air untuk keperluan sehari-hari.

slmt1Pagi harinya saya mulai bersiap-siap untuk melakukan pendakian, saya mulai mengisi setiap tempat air yang saya bawa yaitu Playtipus ukuran 2 liter sebayak 3 buah dan ukuran 1 liter sebanyak 2 buah, ditambah botol Nalgene ukuran 2 dan 1 liter. Saya masih merasa kurang persedian air saya tambah lagi dengan 4 botol aqua kecil. Memang sepertinya berlebihan, tapi saya tidak mau ambil resiko dari pada kekurangan lebih baik kelebihan. Jadilah ransel ukuran 55 liter saya beratnya seperti ransel ukuran 100 liter. Selesai packing tanpa buang waktu saya langsung berangkat, menuju Slamet yang telah tegak menunggu. Pagi ini gunung Slamet jelas terlihat dengan puncak botaknya menyembul dibalik puggungan bukit yang jelas terlihat dari Bambangan. Memasuki jalan trek, jalan berdebu dan gersang setiap langkah membuat debu membubung naik karena angin juga bertiup cukup kencang. Dari gerbang pendakian hingga ke pintu hutan terhampar ladang petani, dan sesekali petaninya saya mintai pertolongan untuk merekam gambar video, tentu saja sedikit kursus singkat saya berikan dan hasilnya tidak mengecewakan.

Memasuki hutan gunung slamet yang cukup lebat dengan pohon-pohon yang tinggi sehingga terlindung dari sinar matahari musim kemarau yang terik. Saya berjalan dengan santai menikmati kesendirian. Sesekali ketemu pendaki yang turun dan sama halnya dengan para petani tadi para pendaki tersebut juga saya mintai tolong untuk mengoperasikan handycam. Tidak ada yang terlalu istimewa selama perjalanan. Hingga di Pos II Pondok Walang saya beristirahat dan membuka bungkus nasi yang sudah saya persiapkan untuk makan siang. Hutan gunung Slamet cukup hening yang terdengar hanya desauan duun pohon rasamala dan lainnya yang tertiup angin.

Selesai makan dan setelah beristirahat perjalanan saya lanjutkan, jalan setapak yang berpasir halus semakin menghasilkan debu yang cukup tebal saat diinjak. Udara yang panas debu yang bertebangan, tapi saya nikmati seolah tengah berada dalam ruang sauna yang beruap dan panas. Kalau tidak pastilah perjalanan ini sudah membuat saya bosan. Masker yang sudah saya persiapkan sangat membantu saya untuk bernafas ditengah kepulan debu disetiap langkah. Sampai di pos Samarantu saya bertemu dengan tiga orang pendaki yang tengah nenda, rupanya mereka tengah dalam perjalanan turun setelah mencapai puncak kemaren sore. Kami berbincang-bincang sebentar dan setelah itu sayapun kembali melanjutkan perjalanan. Dibanding dengan tahun 90 dulu sewaktu pertama naik gunung ini, saat ini banyak sekali ditemui posnya, dari bawah hingga puncak kita akan menemukan 9 pos resmi, belum lagi beberapa pos bayangan yang banyak sekali dengan luas yang cukup untuk menampung 3 – 4 tenda. Dulu saya ingat sekali saya dan teman saya harus nenda ditengah jalan karena kemalaman dan pos masih jauh sementara susah sekali menemukan tanah yang datar untuk mendirikan tenda. Waktu itu pos hanya ada kalau tidak salah hanya ada tiga pos yaitu Samarantu, Mata air dan Pelawangan.

slmt4Jam setengah empat sore saya sampai di pos Mata Air atau Pos Samyang Rangkah, sekarang disini sudah ada pondok dan ada bangku yang terbuat dari dahan pohon didepannya. Sejenak saya berhenti dan menikmati pemandangan lepas dari pos ini, dari sini puncak Slamet jelas terlihat, tidak ada satu orangpun disini. Karena hari semakin sore dan karena tidak ingin kemalaman di jalan, saya segera mencari lokasi untuk mendirikan tenda. Akhirnya saya menemukannya tidak jauh dari lokasi pos Mata Air. Sewaktu akan mendirikan tenda kembali bertemu dua orang pendaki yang akan turun, tanpa membuang kesempatan saya segera minta bantuannya untuk merekam aktivitas saya dengan handycam. Setelah tenda berdiri dan segera saya memasak makanan untuk makan malam sementara dua pendaki tadi telah turun. Keheningan kembali meyelimuti saya, yang terdengar hanya suara angin dan detingan misting. Saat matahari sudah tenggelam makan malam saya sudah siap dan tendapun saya tutup, diiringi lagu “another day in paradise” nya Phil Collins yang mengalun dari walkman saya menikmati santap malam. Selesai makan dan karena rasa penat saya segera tertidur pula dibalik sleeping bag. Tengah malam saya terbangun karena mendengar suara pendaki yang naik, dan kemudian segera terlelap lagi hingga pagi harinya.

Pagi hari kedua di gunung ini saya bergegas keluar tenda ingin mengabadikan moment sunrise, tapi saya sedikit kecewa karena pemandangan gunung Sumbing hanya sedikit terlihat dihalangi oleh awan yang cukup tebal. Setelah sarapan dan packing saya kembali melanjutkan pendakian, rencananya saya akan menginap lagi di Pos VIII Samyang Kendit, karena Pos XI Plawangan terlalu dekat dengan lereng berbatu dan berbahaya jika ada batu yang longsor saat di injak pendaki lain. Debu makin tebal saja, dan perlahan tapi pasti matahari mulai bersinar garang, didepan tampak kokoh berdiri sosok puncak gunung Slamet yang botak dan berbatu dilator belakangi oleh langit biru tanpa awan. Saya melangkah pelan saja karena memang tidak terburu-buru juga agar debu tidak terlalu berterbangan. Jarak dari tempat saya nenda dengan Pos VIII tidaklah jauh, dan rupanya Pos VII dan Pos VIII letaknya berdempetan. Ada 3 tenda yang telah berdiri di pos VIII tapi suasana sepi tidak ada siapa-siapa, rupanya pemilik tenda-tenda ini tengah mendaki kepuncak. Jarum jam menunjukan jam 10.00 pagi, saya memutuskan untuk mendirikan tenda lagi di pos ini karena pemandangannya yang lepas kearah timur, dimana nantinya saya akan dengan bebas menikmati pemandangan Sundoro, Sumbing, dan Merapi dari dalam tenda. Tapi berhubung tempatnya masih ditempati tenda lain terpaksa saya menunggu yang punya datang. Tak lama kemudian, mereka turun dan beruntung sekali mereka memang tidak akan bermalam lagi disini dan akan segera turun.

slmt3Saya mendirikan tenda persis setelah para pendaki yang menempati Pos VIII ini turun, setelah tenda berdiri sekitar jam 01.00 siang saya mempersiapkan diri untuk kepuncak, tidak ada pendaki lain saat saya menapaki lereng berbatu menuju puncak Slamet, angin bertiup cukup kencang. Dan sesekali kabut menutupi lereng ini, saat mencapai puncak kabut pergi dan tampaklah pemandangan puncak dengan kawahnya yang sedikit berjarak jauh dari puncak. Saya mengambil beberapa photo dan gambar video dengan bantuan tripod. (gambar videonya sendiri saat saya edit dirumah ada keganjilan, yaitu gambarnya seperti sedikit berayun, padahal saya pakai tripod. Logikanya kalau seandainya ketiup angin harusnya getaran handycam nya agak cepat, tapi ini bukan bergetar melainkan sediikit berayun seolah-olah dipegang orang dengan penggangan yang tidak stabil, tapi . ya sudahlah saya tidak pikirkan yang penting sekarang saya sedang tidak disana.) Tidak lama saya dipuncak hanya sekitar 15 menit dan itupun hanya duduk di dekat tiang trianggulasi. Saya sampai lagi ditenda tepat saat sekelompok pendaki tiba di Pos VIII. Seperti biasa kegiatan saya di tenda adalah masak dan bersantai menikmati pemandangan lepas dari tenda.

Selesai makan malam, tidak ada kegiatan dan sembari tiduran saya melanjutkan membaca buku “The Climb, Tragic Ambitions on Everest ” nya Anatoli Boukreev. Lagi asyik membaca tiba-tiba saya dikejukan sama suara orang berteriak – teriak dekat tenda saya memanggil temannya, rupanya ada pendaki lain yang datang dan kondisi ini terus berlanjut, membuat saya agak susah tertidur. Walaupun tertidur, tapi kemudian terbangun lagi saat pendaki lainnya datang. Sampai akhirnya pagi menjelang dan bias sunrise yang muncul disamping si kembar Sundoro Sumbing saya nikmati dari dalam tenda, sementara pendaki lain terus berdatangan.

Hari ini saya akan turun langsung menuju Bambangan, setelah sarapan dan packing saya mulai menuruni jalan berdebu dan sesekali bertemu dengan pendaki yang akan naik. Tidak ada yang istimewa kecuali kembali mandi sauna debu disepanjang jalan setapak, bahkan saat meninggalkan batas hutan dan memasuki daerah perladangan pendudukpun debu masih terus menyelimuti setiap langkah. Harapan saat sampai dirumah Kepala Desa untuk mandipun sepertinya tidak mungkin, karena kelangkaan air dan akhirnya hanya dengan seember air dan bandana saya mulai mandi ala coboy, yakni membasahi bandana dan menggosokannya ke seluruh badan. Hari ini juga rencananya saya akan turun ke slmt2Purwokerto dan menginap semalam lagi. Dengan mencartet mobil kepunyaan pak Kades saya dianter oleh anaknya melewati Batu Raden turun menuju Purwokerto. Dan akhirnyapun saya bisa mandi sepuasnya disebuah hotel yang letaknya tidak jauh dari stasiun, kemudian setelah itu sayapun terlelap tidur, karena semalam tidur tidak terlalu lelap ditambah rasa capek sewaktu turun gunung.

Hari senin tanggal 23 Agustus, dengan menumpang kereta Sawung Galih yang berangkat pukul 09.00 pagi saya pulang menuju Jakarta, kereta executive ini tidak begitu penuh sehingga saya bisa menempati dua kursi sendirian, dan kembali saya terlelap., kayaknya tidur masih kurang saja….